Rawa Pening memiliki sejuta wajah. Sebagai lokasi wisata, waduk alami di Kabupaten Semarang ini menawarkan keindahan, ketenangan, serta lanskap memukau berbalut misteri. Bahkan, di tengah "kesekaratannya", ia masih mampu memikat hati begitu banyak pengunjung.
Akses menuju Rawa Pening mudah dijangkau. Hanya sekitar 15 menit perjalanan darat dari Kota Salatiga. Titik akses Rawa Pening berada di Bukit Cinta (Banyubiru), Bejalen (Ambarawa), serta Rawa Permai (Tuntang).
Di waduk seluas lebih kurang 2.500 hektar, pengunjung bisa bermain air, memancing, sekadar menenangkan diri, berburu foto, atau bahkan mencari ketenangan spiritual. Di kalangan fotografer amatir, Rawa Pening menyajikan eksotisme lanskap yang sulit ditemukan di daerah lain.
Rinto Sujarwo (24), fotografer Salatiga, termasuk yang gemar berburu di waduk ini. "Lanskapnya bagus sekali. Ada air, langit, serta human interest karena ada nelayan di situ," tuturnya, Kamis (6/5).
Dari ketenangan air di rawa ini, pengunjung juga bisa menikmati latar belakang pemandangan berupa barisan gunung, Telomoyo, Gajahmungkur, dan Merbabu di sisi selatan, serta Kendalisodo di utara.
Keindahan ini bakal lebih terasa saat pengunjung berada di tengah rawa, menyaksikan nelayan bersampan sembari menebar jaring. Harga persewaan perahu di lokasi ini juga masih masuk akal. Dari Bukit Cinta, perahu bermotor dengan kapasitas delapan orang disewakan Rp 30.000 per 45 menit.
"Merasa tenang dan sejuk. Selain itu, saya juga tertarik sama legendanya," tutur Freddy (22), warga Rembang.
Menurut legenda, Rawa Pening terbentuk dari cabutan lidi naga Baruklinting yang marah akibat diperlakukan semena-mena. Dari sebatang lidi yang ditancapkan di tanah, menyembur air hingga menenggelamkan desa. Legenda ini pula yang membalut Rawa Pening dengan suasana mistis.
Tidak mengherankan pada hari-hari tertentu ada pengunjung, bahkan pejabat, yang khusus menaburkan bunga sambil menyepi di tengah danau yang diyakini menjadi lokasi cabutan lidi tersebut. Lokasi itu sekitar 300 meter ke arah timur dari Bukit Cinta.
"Setahun sekali pada tanggal 21 bulan Suro, selalu ada ritual larung tumpeng ageng. Sebagai wujud syukur dari sekitar 2.000 nelayan, petani, dan pengambil tanah gambut," tutur Pandiman (55), juru rekso Rawa Pening.
Sayang daya tarik ini belum dikelola maksimal. Menurut Kepala Unit Pelaksana Teknis Dinas Pariwisata Kabupaten Semarang, Soepeno, belum ada investor yang tertarik mengembangkan potensi besar ini karena terbentur persoalan lingkungan, mulai dari sedimentasi tinggi hingga kepadatan eceng gondok. Ada beberapa kajian yang menyebut rawa ini sedang "mendarat".
"Eceng gondok itu kalau musim hujan dan angin, sering membuat khawatir orang yang mau naik perahu. Kalau di tengah, tertutup rimbunan eceng gondok susah sekali keluar," tutur Soepeno. (Antony Lee)
sumber: kompas.com
No comments:
Post a Comment